SELAMAT DATANG DI JONAAGATOS
Mewaspadai Bangkitnya Kekuasaan Radikalisme
Oleh: Joel Nababan, S.Th
"Waspadalah waspadalah"
merupakan sepenggal kalimat dari Bang Napi pada saat acara berita disalah satu
TV swasta Nasional. Rasanya tidaklah berlebihan kalau kalimat "waspadalah
waspadalah" ini ditujukan terhadap situasi bangsa Indonesia yang akhir-akhir ini tingkat kekerasannya semakin tinggi
dan sudah menyusup keberbagai line kehidupan masyarakat luas, serta sudah
menjurus ketindakan radikalisme. Tidaklah susah menjejerkan peristiwa demi
peristiwa radikalisme yang terjadi direpublik ini. Suka atau tidak suka gerakan
radikalisme telah menjamur dimana-mana. Ansyad Mbai Ketua BNPT ( Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme) "mengakui bahwa radikalisme di Indonesia belakangan mengalami peningkatan tajam". Senada
dengan itu Syamsul Bakri (Dosen IAIN Surakarta) mengatakan "Berbagai
pengeboman di tanah air juga mengindikasikan betapa radikalisme juga telah
tumbuh subur dinegara yang menjungjung tinggi kebinekaan tersebut".
Bahkan berdasarkan penelitian yang dilakukan banyak pihak ternyata radikalisme
memang telah meningkat di bumi Indonesia.
Kasus kasus terkait dengan bom Natal (Tahun 2000), pembakaran pesantren Syi'ah di Sampang (Kamis, 29 Desember 2011), pengusiran Ahmadiyah dan penutupan masjidnya (10-13 September 2002 di kota Selong Lombok Timur), bom di masjid Polres Cirebon (Jumat, 15 April 2011), bom buku yang ditujukan kepada Jaringan Islam Liberal (15 maret 2011), penutupan GKI Yasmin di Bogor (2010), penusukan Pendeta HKBP Ciketing Bekasi (Minggu, 12 September 2010), Penutupan 20 gereja di kabupaten Singkil Aceh, perekrutan anggota NII, kekerasan terhadap kelompok yang melakukan maksiat di bulan puasa, bahkan juga penyerangan terhadap warga yang berjualan makanan saat bulan puasa tersebut, pembubaran paksa bedah buka "Allah, Liberty' and Love" karya Irshad Manji (Sabtu, 5 Mei 2012), penolakan terhadap konser Lady Gaga (2012), dan masih banyak lagi. Kasus-kasus di atas menjadi indikator bahwa radikalisme telah merajalela di negeri yang konon katanya damai itu. Bahkan radikalisme ini sudah mengarah radikalisme agama. Radikalisme agama sudah menjadi momok yang sangat menakutkan, fenomena menggelisahkan bagi banyak pihak. Mengapa tidak, pelaku-pelaku radikalisme tidak segan-segan menghabisi nyawa lawan-lawannya yang berbeda paham dengan mereka. Sudah tak terbilang lagi banyaknya nyawa melayang, rumah ditinggal penghuninya, kehilangan harta bendanya oleh karena sadisnya prilaku para pelaku radikalisme. Lihatlah prilaku-prilaku yang mereka pertontonkan, atas dasar agama, Tuhan, kesucian, mereka mencurahkan darah manusia yang nota benenya adalah sama-sama ciptaan Tuhan. Dan kalau kita memperbandingkan jumlah korban dalam perang terdasyat yang pernah terjadi di dalam sejarah peradaban manusia, dengan besarnya jumlah korban pembantaian manusia dimasa damai di negeri-negeri yang warganya menyatakan umat beragama, mungkin sudah sebanding. Bukankah agama sejatinya membawa kesejukan, kedamaian bagi pemeluknya dan bagi ciptaan Tuhan lainnya? Namun agama pun telah dijadikan oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab menjadi momok yang sangat menakutkan, angker, membawa Violence sehingga muncullah istilah peran agama yang destruktif (merusak), yang perwujudannya bisa dalam bentuk radikalisme agama. Radikalisme agama telah mengalami peningkatan yang cukup tajam di negeri ini. Itu sebabnya diperlukan kewaspadaan semua pihak. Bukankah lebih baik mencegah dari pada mengobati? atau jangan sampai nasi menjadi bubur, bahkan jangan sampai kita ini menyesal dikemudian hari yang tentunya tiada artinya lagi. Sebab bukannya tidak mungkin kelak kekuasaan radikalisme menjadi kekuasaan yang amat berpengaruh. Itu sebabnya sikap waspada harus dimiliki oleh semua komponen bangsa ini. Kewaspadaan yang pertama ditujukan kepada Negara: Negara dalam hal ini pemerintah, sebagai pemegang kewajiban terbesar dari sebuah Negara, pemerintah harus mampu memberikan rasa aman dan nyaman bagi setiap warga negaranya, tanpa adanya pengkotak-kotakan, meng anak emaskan suatu kelompok tertentu. Karena sejatinya Negara sebagai arena netral bagi semua kelompok masyarakat. Tetapi apa daya harapan untuk hidup aman dan nyaman itu masih jauh dari harapan publik, ibarat panggang jauh dari api. Dari hari ke hari kasus radikalisme agama terus terjadi diseantero negeri ini, dan kita tidak mengerti seperti apa keseriusan pemerintah dalam menangani radikalisme agama, sehingga memunculkan kesan pembiaran, bahkan kuat dugaan ketidak seriusan pemerintah dalam menanganinya. Pemerintah hanya pintar berpolemik, melemparkan tanggung jawab, bahkan menyalahkan orang lain. Dan yang lebih mengerikan lagi keputusan MA yang sudah mempunyai kekuatan hukum pun tidak mampu dijalankan oleh pemerintah oleh karena desakan ormas-ormas radikal (Semisal Kasus GKI Yasmin). Sehingga timbul dugaan jangan-jangan Negara dalam hal ini pemerintah sudah disusupi oleh kekuatan radikalisme. Kalau ini terjadi, bukannya tidak mungkin di tahun-tahun mendatang, PANCASILA, UUD 45, BHINEKA TUNGGAL IKA, NKRI, akan runtuh dan pada akhirnya menjadi kenangan semata. |
Kewaspadaan yang
kedua ditujukan kepada aparat keamanan, dalam hal ini kepolisian: Semenjak
bergulirnya reformasi 1998 di republik ini, dan semenjak institusi kepolisian
memisahkan diri dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) sekarang
TNI (Tentara Nasional Indonesia), porsi menjaga ketertiban dan keamanan dalam Negeri dibebankan di pundak POLRI. Hal itu dipertegas juga dengan dikeluarkannya UU RI NO 2 Tahun 2002
tantang Kepolisian Negara Republik Indonesia pasal 2 "Fungsi kepolisian adalah salah satu
fungsi pemerintahan Negara dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban
masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada
masyarakat". Dengan porsi yang jukup besar itu, diharapkan institusi kepolisian mempunyai ruang yang cukup untuk menjaga keamanan dan ketertiban.
Memang sudahlah sepantasnya kita memberikan apresiasi kepada
institusi kepolisian dalam menjaga keamanan dan ketertiban khususnya dalam
penanganan kasus-kasus terorisme di Negeri ini. Sudah tak terbilang lagi banyaknya
gembong teroris dilumpuhkan. Bahkan gembong teroris paling wahid pun
dilumpuhkan di negeri ini semisal: Dr. Azhari, Noor Din M. Top. Sarang-sarang
teroris pun mampu di deteksi oleh POLRI (Densus 88). Dalam penanganan terorisme
kiprah Kepolisian tidak diragukan lagi, bahkan dunia Internasional pun
memberikan apresiasi.
Namun disisi lain, ada kegamangan diinstitusi kepolisian dalam menangani tindakan-tindakan radikaisme yang sudah menjamur itu. Tidak jarang kita lihat kepolisian tidak berdaya dalam menghadapi tekanan, desakan ormas-ormas radikal. Ibarat singa ompong yang tidak mampu berbuat apa apa. Lihatlah penanganan pihak kepolisian terhadap ormas-ormas radikal yang melakukan penolakan terhadap tempat-tempat peribadatan (yang disinyalir; aliran sesat, tidak memiliki IMB, dan sejenisnya), yang bisa dilakukan apa? Palingan mengungsikan atau merelokasi pihak yang didemo. dengan alasan guna menghindari bentrok, atau kontak fisik. Logikanya, bukankah pihak pendemolah yang harus dihalau? Melihat gejala ini, ada kesan kuat dimata masyarakat bahwa kepolisian tidak mampu menghadapi ormas-ormas radikal yang hanya segelintir itu. Atau jangan-jangan ada kong kali kong antara institusi kepolisian dengan ormas radikal yang ada direpublik ini. Masih segar dalam ingatan, belum lama ini WIKILEAKS membocorkan sejumlah dokumen rahasia khususnya hubugungan antara Polisi dengan ormas Front Pembela Islam (FPI). Dalam bocoran rahasia itu, WIKILEAKS mengungkapkan bahwa sejak lama Polisi telah memanfaatkan FPI, sebagai "Attack dog" untuk berbagai kepentingan. Kalau ini benar, tentunya sangat disayangkan dan sangat berbahaya karena akan menimbulkan kekuasaan dalam kekuasaan Kewaspadaan ketiga ditujukan kepada para tokoh agama: Pencucian otak terhadap orang-orang yang direkrut oleh ormas-ormas radikal , bukanlah hanya isapan jempol belaka. Sudah tak terbilang lagi jumlahnya generasi muda bangsa ini menjadi korban pencucian otak. Bahkan yang lebih memprihatinkan lagi, pencucian otak yang dilakukan oleh kelompok-kelompok radikalisme sudah masuk kekalangan mahasiswa (Intelektual muda). Ini berarti generasi muda bangsa ini sudah berada diambang kehancuran. Sebab pencucian otak sesungguhnya lebih berbahaya dari pada peledakan bom. Bom hanya melukai dan paling berat mematikan. Sementara pencucian otak dampaknya permanen dan terus akan berkembang. Dan biasanya orang-orang yang mengalami pencucian otak inilah yang berani melakukan tindakan-tindakan ekstrim semisal bom bunuh diri. Ini tentunya sangat memprihatinkan kita semua. Dan kalau ini dibiarkan, maka kedepan bukannya tidak mungkin akan lahirlah generasi-generasi radikalisme. Dan kalau ini terjadi sudah dapat dipastikan darah sesama anak bangsa akan terus tercurah di bumi pertiwi. Melihat fenomena ini timbul pertanyaan masih mampukah agama dalam hal ini tokoh agama dalam mengantarkan peradaban manusia yang penuh kedamaian, adil, dan sejahtera? Atau jangan-jangan agama telah kehilangan peran profetiknya. Ini menjadi tantangan bagi para pemimpin agama di republik ini. Peran tokoh agama diharapkan selalu memberikan pencerahan, kedamaian, kebaikan, kesejukan, menjungjung tinggi nilai-nilai kemanusian, menolak kekerasan dan balas dendam. Bukanlah sebaliknya menularkan permusuhan, kesadisan, kebencian, ceramah-ceramah yang propokatif, penafsiran ayat-ayat suci yang begitu dangkal dll. Akhirnya kewaspadaan itu pun milik kita semua. Semua kita yang mencita-citakan kedamaian, kebaikan, kesejukan, menjunjung nilai-nilai kemanusiaan. Dan jangan sampai kekuasaan radikalisme menguasai negeri yang manusianya cinta akan kedamaian itu. Itu sebabnya "WASPADALAH WASPADALAH Kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat dari pelaku, tetapi juga karena ada kesempatan", itu kata Bang Napi. Dan saya berkata "WASPADALAH WASPADALAH Radikalisme terjadi bukan hanya karena ada niat dari pelakunya tetapi juga karena ada kesempatan". |