KEKRISTENAN YANG MENDUNIA
Oleh: Joel Nababan, S.Th
Aku telah mengutus mereka ke dalam dunia Yohanes 17:18. Kalimat ini dengan tegas menandaskan bahwa orang-orang Kristen diutus ke tengah-tenga dunia. Orang Kristen tidak diutus di tengah-tengah ruang yang hampa, dunia yang tidak ada penghuninya, kosong melompong, tidak diutus ke ruang angkasa, ke tengah-tengah planet yang sulit dijangkau oleh manusia. Dunia dimana kekristenan hadir, dunia yang sudah ada penghuninya. Bukanlah dunia yang sudah steril, sempurna, bersih dari yang namanya dosa.
Semenjak kejatuhan manusia ke dalam dosa, dunia yang tadinya penuh dengan Syalom , telah mengalami pencemaran dosa. Tercemar dengan saling melemparkan kesalahan (Hawa menyalahkan Si ular, Adam mempersalahkan Hawa), pembunuhan (Kain dan Habil), perzinahan, kesombongan (menara Babel) dan masih banyak lagi.
Dunia yang sudah ribuah tahun sampai dengan zaman posmo ini, kecemaran itu bukannya semakin menurun, malah intensitasnya semakin meningkat dan semakin kompleks, dan dengan berbagai modus telah hadir di tengah-tengah dunia ini. Sehingga setiap hari kita disuguhkan dengan berita-berita kejahatan, baik melalui media cetak maupun media elektronik. Kejahatan yang telah mengalami intensitanya itu, telah merasuk keseluruh line kehidupan manusia, tidak memandang siapa yang ingin dijadikan mangsanya. Apakah dia orang melarat, hina, miskin, kaya, terpandang, berpangkat, orang beragama atau tidak, orang alim atau orang lalim. Bahkan tidak ketinggalan juga instansi-instansi yang ada, baik yang sekuler maupun instansi agamawi sekalipun sudah tercemar dengan dosa. Sehingga, sesungguhnya dunia ini sudah hitam pekat oleh kekompleksitasan kecemaran itu sendiri. Fenomena-fenomena seperti inilah yang ada disekitar bahkan yang mengitari orang Kristen. Itu berarti orang Kristen tidak dapat menghindar lalu mengisolir dirinya dari dunia yang sudah meradang itu. Karena memang setiap waktu, hari, dimana dan kapan saja orang Kristen selalu diperhadapkan dengan dunia seperti ini.
Orang Kristen telah dipanggil dari dunia kegelapan dan masuk ke dalam terang ilahi yang ajaib 1 Petrus 2:9 (Ekklesia). Orang Kristen dipanggil bukan untuk dirinya sendiri, memperkaya diri sendiri, terkungkung, membuat tembok-tembok pemisah, meningkatkan spiritualitasnya sendiri, memandang terus ke atas (Tuhan) tanpa memperhatikan lingkungan sekitar. Orang Kristen dipanggil untuk dunia, tetapi bukan dari dunia. Berarti mau atau tidak mau, orang Kristen harus mengenal, memahami dunia itu supaya dapat menjadi berkat bagi dunia, sebagaimana Allah ada untuk seluruh isi dunia (Yohanes 3:16 "Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini). Itu artinya orang Kristen yang diutus ketengah-tengah dunia, tidak hanya sekedar sebagai pendengar, penonton, pengamat, berpangku tangan, bahkan lebih tragis lagi tidak mau tahu dengan lingkungan dimana ia ada. Sehingga orang Kristen tidak diberi lebel; egois, ekslusif dan hanya berpulang pada dirinya sendiri.
Bercermin dari hidup dan pelayanan Tuhan Yesus selama di dunia ini, Tuhan Yesus tersohor sampai kepelosok bumi sampai saat ini bukan hanya karena Ia sanggup mendemonstrasikan hal-hal yang supranatural saja. Di satu sisi yang membuat Tuhan Yesus populer dan yang sering kali dilupakan oleh pengikutNya yakni kepiawaianNya dalam menempatkan diri di tengah-tengah dunia. Kahadiran Tuhan Yesus di tengah-tengah dunia bukanlah kehadiran yang eksklusif, mengisolir diriNya dari masyarakat luas. Dunia dimana Tuhan Yesus hadir, bukanlah suatu komunitas masyarakat yang homogen. Artinya pada zamanNya pun keragaman sudah ada baik dalam suku, bahasa, bangsa, bahkan agama sekalipun. Di tengah-tengah keragaman itu, Tuhan Yesus mampu menempatkan diriNya dengan baik.
Keempat kitab Injil mencatat secara detail bagaimana Ia berinteraksi dengan semua orang. Mulai dari anak-anak, orang tua, orang miskin, orang kaya, orang terpandang, orang buta, perempuan Samaria yang tuna susila, berinteraksi dengan perwira Kapernaun, orang yang terisolir dari lingkungan (Ke 10 orang kusta), pemungut bea dan cukai, orang Farisi ( yang nyata-nyatanya menolak dan berbeda pendapat denganNya), alim ulama, orang Saduki. Ia juga berinteraksi dengan penguasa (pemerintah) bahkan mengikuti aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintahan dunia ini semisal membayar pajak kepada pemerintah.
Konteks bermasyarakat seperti inilah yang dibangun oleh Tuhan Yesus. Ia tidak melihat status sosial, tingkat ekonomi, pendidikan, jabatan, kaum, bahasa, agama sekalipun. Tatanan kehidupana yang dibangun oleh Tuhan Yesus menghilangkan struktur-struktur perbedaan. Keragaman yang demikian menyolok itu tidak menjadi tembok pemisah, halangan untuk melakukan interaksi dengan keragaman itu. Perlu juga ditegaskan relasi yang dibangun oleh Tuhan Yesus bukanlah relasi yang kondisional, situasional. Artinya ketika lingkungan tidak menerima keberadaanNya, dengan segala cara dan upaya, Ia membina hubungan yang baik dengan sesama. Relasi yang dibangun oleh Tuhan Yesus didasarkan pada hati yang tulus dan murni, bukanlah relasi yang memiliki motivasi "ada udang dibalik batu". Tuhan Yesus sangat menyadari bahwa hidup berdampingan dengan orang lain merupakan salah satu kebutuhan manusia yang paling dasar, dan merupakan tanggung jawab semua insan didunia ini.
Berdasarkan penjelasan di atas kita dapat melihat bahwa kehidupan dan pelayanan yang dibangun Tuhan Yesus adalah pelayanan kepada sesama manusia. Kalimat yang terkenal yang dirangkumkan menjadi dua bagian oleh Tuhan Yesus dari seluruh hukum taurat, dimana satu dari dua rangkaian itu berisi "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri" Lukas 10:27. Asumsi yang dipaparkan dalam ayat ini, menunjuk pada suatu tanggung jawab yang diberikan kepada manusia, dan dari kalimat ini akan menimbulkan suatu pertanyaan "Siapa yang disebut sesama manusia itu?". Sesungguhnya pertanyaan ini sudah muncul lebih dari 2000 tahun yang lalu. Pertanyaan ini bukan datang dari seorang awam, melainkan seorang yang sangat disegani, dihormati, bahkan orang yang ahli masalah keagamaan, yakni ahli taurat. Sangat ironis memang, orang yang ahli dibidang keagamaan justru masih bertanya siapa sesama manusia itu. Guna menjawab pertanyaan ini, Tuhan Yesus segera mengkisahkan seseorang yang mengalami Violence, ia dianiaya dan hartanya dirampas. Singkatnya orang saleh (imam dan orang Lewi) lewat, tetapi aneh bin aneh mereka tidak peduli dengan musibah yang dialami orang tersebut, malah menghindar kejalan lain. Kemudian melintas seorang yang tidak saleh, orang yang termarjinalkan, dibenci, dianggap rendah. Dia adalah seorang Samaria. Melihat musibah itu naluri kemanusiaannya tergerak oleh belas kasihan padahal ia tidak mengenal orang itu. Ia menghampiri orang itu, membalut lukanya dan membawanya ketempat penginapan untuk dirawat. Kini kembali Tuhan Yesus yang bertanya "Menurut pendapatmu siapa sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?", jawab orang tersebut "orang yang menunjukkan belas kasihan kepadanya". Suatu jawaban yang sangat tepat. Orang Samaria inilah yang mengerti siapa sesama manusia. Lewat peristiwa ini paradigma sesama manusia dibukakan. Bagi kalangan tertentu pemahaman sesama manusia cukup dangkal, mengganggap sesama manusia adalah orang yang sederajat dengan mereka, kulit sama, suku sama, agama sama dll. Pemahaman yang dangkal ini telah membawa penderitaan bagi umat manusia itu sendiri. sehingga terjadi penindasan terhadap orang lemah, perbudakan (kulit putih terhadap kulit hitam). Tindakan yang sangat arif yang dilakukan orang Samaria ini perlu diteladani oleh orang Kristen dimana pun ia berada.
Sudahlah sepatutnya orang Kristen seperti orang Samaria itu. Orang Kristen sudah harus siuman dari keasyikan diri sendiri, menjadi pemain yang proaktif, meningkatkan agresifitasnya, membaur, menyatu, bersimpati dan akhirnya berempati dengan dunia yang sudah meradang ini. Orang Kristen hadir di tengah-tengah dunia ini untuk mengabdi kepada Allah melalui karya-karya nyata dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu tidak berarti orang Kristen harus kompromistis, berkolaborasi dengan pelaku-pelaku kajahatan. Namun sebaliknya menjadi garam dan terang bagi dunia (Matius 5:13-16). Kehadiran orang Kristen yang menjadi garam dan terang dunia itulah yang diharapkan oleh dunia ini. Sehingga dunia yang didalamnya kekristenan ada dapat merasakan, menikmati, dan pada akhirnya diubah oleh garam dan terang itu. Dengan kerangka seperti inilah "KASIH" itu tidak lagi isapan jempol belaka, hanya di mulut tok, atau hanya sekedar retorika semata. Cinta kasih Kristus yang sudah dicurahkan itu, sudah selayaknya diimplementasikan dalam tindakan-tindakan yang kongkret.
Dalam konteks Indonesia yang pluralistik, bagaimana seharusnya orang Kristen mengimplementasikan dirinya sebagai garam dan terang, atau pembawa kabar baik (Injil), tanpa mengganggu perasaan orang lain, membuat penganut lain curiga. Tetapi tetap dalam koridor saling menghargai antar sesama pemeluk agama. Tetapi bukan berarti orang Kristen harus kehilangan statusnya sebagai pembawa kabar baik karena Tuhan Yesus mengamanatkan "jadikanlah semua bangsa muridKu (Matius 28:19)". Sebab mandat menyampaikan kabar baik itu bukanlah perintah ataupun pemberian manusia tetapi hal itu langsung diberikan oleh Tuhan Yesus, itu sebabnya tak satu orang pun, lembaga mana pun yang mempunyai kewenangan untuk mengubahnya apalagi membatalkannya. Hal ini berarti menyampaikan kabar baik adalah merupakan kaharusan. Namun yang jadi persoalannya bagaimana tatacara orang Kristen di dalam mewujudnyatakan, mengkomunikasikan berita keselamatan itu. Hal ini sangat penting deperhatikan oleh orang Kristen, sehingga orang Kristen tidak terjerembab, terperangkap oleh kebodohan dan kecerobohannya sendiri. Kalau kita mau jujur seberapa banyak orang Kristen ketika ingin membuka ladang-ladang baru, gereja, tidak mengadakan sosialisasi, pendekatan terlebih dahulu terhadap lingkungan. Atau kita banyak berdalih masa sih beribadah harus minta ijin kepada orang lain? Persoalannya bukanlah ijin peribadatan tetapi bagaimana kita menghormati orang yang berbeda dengan kita. Sebab kita tidak bisa berdalih, bahwa melaksanakan Firman Tuhan tidak dapat dijadikan pembenaran atas kebodohan dan kecerobohan orang Kristen sendiri. Sehingga orang Kristen tidak terjerembab kepada kesalahan dan kebodohannya sendiri. Ataupun senjata makan tuan. Akhirnya jadilah menjadi ORANG-ORANG KRISTEN YANG MENDUNIA DAN SELAMAT MENDUNIA...
Semenjak kejatuhan manusia ke dalam dosa, dunia yang tadinya penuh dengan Syalom , telah mengalami pencemaran dosa. Tercemar dengan saling melemparkan kesalahan (Hawa menyalahkan Si ular, Adam mempersalahkan Hawa), pembunuhan (Kain dan Habil), perzinahan, kesombongan (menara Babel) dan masih banyak lagi.
Dunia yang sudah ribuah tahun sampai dengan zaman posmo ini, kecemaran itu bukannya semakin menurun, malah intensitasnya semakin meningkat dan semakin kompleks, dan dengan berbagai modus telah hadir di tengah-tengah dunia ini. Sehingga setiap hari kita disuguhkan dengan berita-berita kejahatan, baik melalui media cetak maupun media elektronik. Kejahatan yang telah mengalami intensitanya itu, telah merasuk keseluruh line kehidupan manusia, tidak memandang siapa yang ingin dijadikan mangsanya. Apakah dia orang melarat, hina, miskin, kaya, terpandang, berpangkat, orang beragama atau tidak, orang alim atau orang lalim. Bahkan tidak ketinggalan juga instansi-instansi yang ada, baik yang sekuler maupun instansi agamawi sekalipun sudah tercemar dengan dosa. Sehingga, sesungguhnya dunia ini sudah hitam pekat oleh kekompleksitasan kecemaran itu sendiri. Fenomena-fenomena seperti inilah yang ada disekitar bahkan yang mengitari orang Kristen. Itu berarti orang Kristen tidak dapat menghindar lalu mengisolir dirinya dari dunia yang sudah meradang itu. Karena memang setiap waktu, hari, dimana dan kapan saja orang Kristen selalu diperhadapkan dengan dunia seperti ini.
Orang Kristen telah dipanggil dari dunia kegelapan dan masuk ke dalam terang ilahi yang ajaib 1 Petrus 2:9 (Ekklesia). Orang Kristen dipanggil bukan untuk dirinya sendiri, memperkaya diri sendiri, terkungkung, membuat tembok-tembok pemisah, meningkatkan spiritualitasnya sendiri, memandang terus ke atas (Tuhan) tanpa memperhatikan lingkungan sekitar. Orang Kristen dipanggil untuk dunia, tetapi bukan dari dunia. Berarti mau atau tidak mau, orang Kristen harus mengenal, memahami dunia itu supaya dapat menjadi berkat bagi dunia, sebagaimana Allah ada untuk seluruh isi dunia (Yohanes 3:16 "Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini). Itu artinya orang Kristen yang diutus ketengah-tengah dunia, tidak hanya sekedar sebagai pendengar, penonton, pengamat, berpangku tangan, bahkan lebih tragis lagi tidak mau tahu dengan lingkungan dimana ia ada. Sehingga orang Kristen tidak diberi lebel; egois, ekslusif dan hanya berpulang pada dirinya sendiri.
Bercermin dari hidup dan pelayanan Tuhan Yesus selama di dunia ini, Tuhan Yesus tersohor sampai kepelosok bumi sampai saat ini bukan hanya karena Ia sanggup mendemonstrasikan hal-hal yang supranatural saja. Di satu sisi yang membuat Tuhan Yesus populer dan yang sering kali dilupakan oleh pengikutNya yakni kepiawaianNya dalam menempatkan diri di tengah-tengah dunia. Kahadiran Tuhan Yesus di tengah-tengah dunia bukanlah kehadiran yang eksklusif, mengisolir diriNya dari masyarakat luas. Dunia dimana Tuhan Yesus hadir, bukanlah suatu komunitas masyarakat yang homogen. Artinya pada zamanNya pun keragaman sudah ada baik dalam suku, bahasa, bangsa, bahkan agama sekalipun. Di tengah-tengah keragaman itu, Tuhan Yesus mampu menempatkan diriNya dengan baik.
Keempat kitab Injil mencatat secara detail bagaimana Ia berinteraksi dengan semua orang. Mulai dari anak-anak, orang tua, orang miskin, orang kaya, orang terpandang, orang buta, perempuan Samaria yang tuna susila, berinteraksi dengan perwira Kapernaun, orang yang terisolir dari lingkungan (Ke 10 orang kusta), pemungut bea dan cukai, orang Farisi ( yang nyata-nyatanya menolak dan berbeda pendapat denganNya), alim ulama, orang Saduki. Ia juga berinteraksi dengan penguasa (pemerintah) bahkan mengikuti aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintahan dunia ini semisal membayar pajak kepada pemerintah.
Konteks bermasyarakat seperti inilah yang dibangun oleh Tuhan Yesus. Ia tidak melihat status sosial, tingkat ekonomi, pendidikan, jabatan, kaum, bahasa, agama sekalipun. Tatanan kehidupana yang dibangun oleh Tuhan Yesus menghilangkan struktur-struktur perbedaan. Keragaman yang demikian menyolok itu tidak menjadi tembok pemisah, halangan untuk melakukan interaksi dengan keragaman itu. Perlu juga ditegaskan relasi yang dibangun oleh Tuhan Yesus bukanlah relasi yang kondisional, situasional. Artinya ketika lingkungan tidak menerima keberadaanNya, dengan segala cara dan upaya, Ia membina hubungan yang baik dengan sesama. Relasi yang dibangun oleh Tuhan Yesus didasarkan pada hati yang tulus dan murni, bukanlah relasi yang memiliki motivasi "ada udang dibalik batu". Tuhan Yesus sangat menyadari bahwa hidup berdampingan dengan orang lain merupakan salah satu kebutuhan manusia yang paling dasar, dan merupakan tanggung jawab semua insan didunia ini.
Berdasarkan penjelasan di atas kita dapat melihat bahwa kehidupan dan pelayanan yang dibangun Tuhan Yesus adalah pelayanan kepada sesama manusia. Kalimat yang terkenal yang dirangkumkan menjadi dua bagian oleh Tuhan Yesus dari seluruh hukum taurat, dimana satu dari dua rangkaian itu berisi "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri" Lukas 10:27. Asumsi yang dipaparkan dalam ayat ini, menunjuk pada suatu tanggung jawab yang diberikan kepada manusia, dan dari kalimat ini akan menimbulkan suatu pertanyaan "Siapa yang disebut sesama manusia itu?". Sesungguhnya pertanyaan ini sudah muncul lebih dari 2000 tahun yang lalu. Pertanyaan ini bukan datang dari seorang awam, melainkan seorang yang sangat disegani, dihormati, bahkan orang yang ahli masalah keagamaan, yakni ahli taurat. Sangat ironis memang, orang yang ahli dibidang keagamaan justru masih bertanya siapa sesama manusia itu. Guna menjawab pertanyaan ini, Tuhan Yesus segera mengkisahkan seseorang yang mengalami Violence, ia dianiaya dan hartanya dirampas. Singkatnya orang saleh (imam dan orang Lewi) lewat, tetapi aneh bin aneh mereka tidak peduli dengan musibah yang dialami orang tersebut, malah menghindar kejalan lain. Kemudian melintas seorang yang tidak saleh, orang yang termarjinalkan, dibenci, dianggap rendah. Dia adalah seorang Samaria. Melihat musibah itu naluri kemanusiaannya tergerak oleh belas kasihan padahal ia tidak mengenal orang itu. Ia menghampiri orang itu, membalut lukanya dan membawanya ketempat penginapan untuk dirawat. Kini kembali Tuhan Yesus yang bertanya "Menurut pendapatmu siapa sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?", jawab orang tersebut "orang yang menunjukkan belas kasihan kepadanya". Suatu jawaban yang sangat tepat. Orang Samaria inilah yang mengerti siapa sesama manusia. Lewat peristiwa ini paradigma sesama manusia dibukakan. Bagi kalangan tertentu pemahaman sesama manusia cukup dangkal, mengganggap sesama manusia adalah orang yang sederajat dengan mereka, kulit sama, suku sama, agama sama dll. Pemahaman yang dangkal ini telah membawa penderitaan bagi umat manusia itu sendiri. sehingga terjadi penindasan terhadap orang lemah, perbudakan (kulit putih terhadap kulit hitam). Tindakan yang sangat arif yang dilakukan orang Samaria ini perlu diteladani oleh orang Kristen dimana pun ia berada.
Sudahlah sepatutnya orang Kristen seperti orang Samaria itu. Orang Kristen sudah harus siuman dari keasyikan diri sendiri, menjadi pemain yang proaktif, meningkatkan agresifitasnya, membaur, menyatu, bersimpati dan akhirnya berempati dengan dunia yang sudah meradang ini. Orang Kristen hadir di tengah-tengah dunia ini untuk mengabdi kepada Allah melalui karya-karya nyata dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu tidak berarti orang Kristen harus kompromistis, berkolaborasi dengan pelaku-pelaku kajahatan. Namun sebaliknya menjadi garam dan terang bagi dunia (Matius 5:13-16). Kehadiran orang Kristen yang menjadi garam dan terang dunia itulah yang diharapkan oleh dunia ini. Sehingga dunia yang didalamnya kekristenan ada dapat merasakan, menikmati, dan pada akhirnya diubah oleh garam dan terang itu. Dengan kerangka seperti inilah "KASIH" itu tidak lagi isapan jempol belaka, hanya di mulut tok, atau hanya sekedar retorika semata. Cinta kasih Kristus yang sudah dicurahkan itu, sudah selayaknya diimplementasikan dalam tindakan-tindakan yang kongkret.
Dalam konteks Indonesia yang pluralistik, bagaimana seharusnya orang Kristen mengimplementasikan dirinya sebagai garam dan terang, atau pembawa kabar baik (Injil), tanpa mengganggu perasaan orang lain, membuat penganut lain curiga. Tetapi tetap dalam koridor saling menghargai antar sesama pemeluk agama. Tetapi bukan berarti orang Kristen harus kehilangan statusnya sebagai pembawa kabar baik karena Tuhan Yesus mengamanatkan "jadikanlah semua bangsa muridKu (Matius 28:19)". Sebab mandat menyampaikan kabar baik itu bukanlah perintah ataupun pemberian manusia tetapi hal itu langsung diberikan oleh Tuhan Yesus, itu sebabnya tak satu orang pun, lembaga mana pun yang mempunyai kewenangan untuk mengubahnya apalagi membatalkannya. Hal ini berarti menyampaikan kabar baik adalah merupakan kaharusan. Namun yang jadi persoalannya bagaimana tatacara orang Kristen di dalam mewujudnyatakan, mengkomunikasikan berita keselamatan itu. Hal ini sangat penting deperhatikan oleh orang Kristen, sehingga orang Kristen tidak terjerembab, terperangkap oleh kebodohan dan kecerobohannya sendiri. Kalau kita mau jujur seberapa banyak orang Kristen ketika ingin membuka ladang-ladang baru, gereja, tidak mengadakan sosialisasi, pendekatan terlebih dahulu terhadap lingkungan. Atau kita banyak berdalih masa sih beribadah harus minta ijin kepada orang lain? Persoalannya bukanlah ijin peribadatan tetapi bagaimana kita menghormati orang yang berbeda dengan kita. Sebab kita tidak bisa berdalih, bahwa melaksanakan Firman Tuhan tidak dapat dijadikan pembenaran atas kebodohan dan kecerobohan orang Kristen sendiri. Sehingga orang Kristen tidak terjerembab kepada kesalahan dan kebodohannya sendiri. Ataupun senjata makan tuan. Akhirnya jadilah menjadi ORANG-ORANG KRISTEN YANG MENDUNIA DAN SELAMAT MENDUNIA...