Oleh: Joel Nababan, S.Th
Mengharap sesuatu yang baik di dalam kehidupan ini tentunya bukanlah sesuatu yang tabu. Siapapun pantas mengharap sesuatu yang baik terjadi di dalam hidupnya. Berharap ekonominya mengalami perbaikan, cita-citanya tergapai, anak-anak berhasil, dsb. Dalam tatanan berbangsa dan bernegara khususnya dalam konteks Indonesia, tentunya kita juga mengharap Indonesia mengalami perubahan dalam segala aspek, yang dalam bahasa penulis disebut Indonesia baru, Indonesia yang lebi baik. Sebagai seorang awam, yang mungkin juga mewakili jutaan orang penduduk Negeri ini, tentunya juga menggantungkan sejumlah harapannya buat bangsa yang kita cinta I bersama. Mari kita tilik sejenak harapan-harapan itu:
Mengharap sesuatu yang baik di dalam kehidupan ini tentunya bukanlah sesuatu yang tabu. Siapapun pantas mengharap sesuatu yang baik terjadi di dalam hidupnya. Berharap ekonominya mengalami perbaikan, cita-citanya tergapai, anak-anak berhasil, dsb. Dalam tatanan berbangsa dan bernegara khususnya dalam konteks Indonesia, tentunya kita juga mengharap Indonesia mengalami perubahan dalam segala aspek, yang dalam bahasa penulis disebut Indonesia baru, Indonesia yang lebi baik. Sebagai seorang awam, yang mungkin juga mewakili jutaan orang penduduk Negeri ini, tentunya juga menggantungkan sejumlah harapannya buat bangsa yang kita cinta I bersama. Mari kita tilik sejenak harapan-harapan itu:
Mengaharap KORUPSI tidak ada lagi: Sebagian besar mungkin kita berkata takkan mungkin itu akan terjadi? Ini sebuah harapan yang muluk-muluk! Rasa pesimis itu pun kian mengemuka manakala para pengamat mengatakan bahwa Korupsi yang ada di republik ini sudah mengakar bahkan membudaya. Dan penulis mengatakan sudah seumpama pelari estapet yang menitipkan tongkat estapetnya kepada pelari berikutnya. Di tambah lagi kepercayaan publik terhadap penegak hukum dan intelektual muda direpublik ini sudah pada level yang sangat memprihatinkan, seiring dengan banyaknya penegak hukum dan intelektual muda yang tersangkut kasus KORUPSI. Sikap apatis itu semakin bertambah lagi seiring dengan dirilisnya situasi korupsi di 177 negara di tahun 2013 oleh Transparency Internsional (TI). Dimana Indonesia menduduki peringkat 64 dalam urutan Negara paling korup di dunia. Sebagaimana kita ketahui, Transparency International merupakan lembaga Anti-korupsi International yang berdiri sejak 1995. Setiap tahun, TI mengeluarkan indeks peringkat korupsi negara-negara di dunia. Indeks berdasarkan gabungan dari 13 indeks data korupsi dari lembaga independen kredibel.(Transperancy.org). Sebuah peringkat yang sangat memprihatinkan tentunya. Korupsi telah menggorogoti sendi-sendi kehidupan bangsa ini. Entah berapa ratus triliunan Rupiah kerugian yang dialami bangsa ini oleh karena prilaku-prilaku mereka yang bermental Korup. Korupsi bagaikan benalu yang menggerogoti setiap pohon yang ditumpanginya, pelan-pelan tetapi pasti pohon itu akan kering dan pada akhirnya akan mati. Tentunya setiap kita tidak mengharapkan yang demikian terhadap pohon, yang namanya “Pohon Indonesia”. Kita berharap mental Korup kian terkikis dari anak-anak pertiwi. Kita berharap semakin sedikit orang tertangkap karena kasus Korupsi. Semakin sedikit tertangkap bukan karena KPK semakin lemah dan dilemahkan, tetapi karena memang mental Korupsi sudah terkikis dari bangsa ini.
Mengharap TEROR tidak ada lagi: Salah satu poin dalam Pembukaan UUD 45 alinea 4 dikatakan “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosia. Filosofi yang tersirat dalam kalimat ini bahwa bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa yang cinta akan ketertiban dan perdamaian. Namun sungguh sangat disayangkan, Filosofi Indonesia cinta akan ketertiban dan perdamaian itu sepertinya sudah kian terhapus dari ranah kehidupan bangsa kita. Bangsa yang tadinya dikenal dengan sopan dan santun kini hanya tinggal kenangan belaka. Bukan lagi keramahan yang kita dengar, bukan lagi kesopan santunan yang dipertontonkan melainkan teror yang menghiasi lembar demi lembar tatan kehidupan anak-anak pertiwi. Dipenghujung tahun 2013, tepatnya di malam pergantian tahun baru, kita dikagetkan dengan berita penggerebekan yang dilakukan Detasemen Khusus 88 Antiteror Mabes Polri terhadap terduga teroris di jalan KH Dewantoro Gang H Hasan RT 04/07 Kampung Sawah Ciputat Tangerang Selatan, Banten. Akibat peristiwa ini 6 orang terduga teroris meninggal dunia. Teror demi teror sepertinya memang tak bisa lekang dari bangsa ini. Sepanjang waktu Teror terus menghantui perjalanan anak-anak bangsa. Dan kalau kita amati, teror tidak lagi ditujukan hanya kepada mereka-mereka yang beda keyakinan (agama), kedutaan-kedutaan asing yang ada di republik ini. Namun dalam perkembangannya teror juga sudah ditujukan terhadap aparat keamanan bangsa kita. Sudah tidak sedikit lagi aparat keamanan (Polisi) yang jadi korban, bahkan kehilangan nyawa oleh kebrutalan para pelaku teror. Dan apa jadinya kalau aparat keamanan negeri ini pun sudah tidak aman lagi dalam melaksanakan tugasnya, apalagi rakyat biasa sudah pasti hidup dalam ketakutan. Dan yang lebih memprihatinkan kita semua teror yang dilakukan generasi muda bangsa ini lewat aksi geng motor yang akhir-akhir ini semakin meraja lela dan sudah tidak sedikit lagi korbannya sesama anak-anak bangsa.
Melihat kenyataan ini, semua komponen bangsa yang cinta akan kedamaian yang ada di republik ini tentunya berharap Filosofi Indonesia cinta akan perdamaian menghinggapi setiap individu yang ada di Republik ini. Kembalikan bangsa yang cinta akan perdamaian itu ke anak cucu kita, dan jangan lupa memperkatakan filosofi Indonesia yang sesungguhnya kepada generasi ke generasi siang maupun malam.
Mengharap DISKRIMINASI dihapuskan: Sila kelima dari lima sila Pancasila mengatakan “Keadilan Sosial Bagi seluruh Rakyat Indonesia”. Nilai yang terkandung dalam Sila yang Kelima ini bahwa keadilan harus terwujud dalam kehidupan bersama. Dan keadilan tersebut harus didasari dan dijiwai oleh hakikat keadilan kemanusiaan yakni keadilan dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dengan manusia lainnya, bangsa dan Negara serta hubungan manusia dengan Tuhannya. Sila kelima dari lima sila Pancasila ini sepertinya diabaikan bahkan bisa jadi di anak tirikan. Hal itu diperkuat lagi banyaknya kasus-kasus diskriminasi di bumi Indonesia. Dari catatan Yayasan Denny JA pertanggal 23 Desember 2012 saja, ada 2.398 kasus kekerasan dan diskriminasi yang terjadi di Indonesia selama 14 tahun setelah reformasi. Hal itu disampaikan Direktur Yayasan Denny JA, Novriantoni Kahar, dalam jumpa pers di Kantor Lingkaran Survei Indonesia (LSI), di Jakarta. Dari jumlah itu paling banyak kekerasan terjadi karena berlatar agama/paham agama sebanyak 65 persen. Sisanya, secara berturut-turut adalah kekerasan etnis (20 persen), kekerasan jender (15 persen), dan kekerasan orientasi seksual (5 persen). Diskriminasi yang dipertontonkan di republik ini tentunya bukan hanya itu saja. Dunia pendidikan kita pun sudah lahir yang namanya diskriminasi terutama berkenaan dengan penerimaan siswa baru maupun akses untuk bersekolah. Konstitusi kita menjamin bahwa setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan seperti yang tertuang pada Pasal 31 ayat 1 Perubahan Keempat Undang-undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Penerapan pasal ini ditindak lanjuti dalam Undang-undang No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 5 Undang-undang ini menyatakan bahwa: “Setiap warga negara, laki-laki, dan perempuan berhak mendapatkan pendidikan bermutu”. Penerapan Pasal ini bersifat anti diskriminatif. Hal ini juga diperkut dalam Undang-undang No.20 Tahun 2003 pasala 4, bab III, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menyatakan bahwa: “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia”. Dari pasal ini jelaslah bahwa semua warga Negara (tanpa terkecuali) mendapatkan perlakuan dan kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan tanpa ada persyaratan-persyaratan khusus seperti harus memiliki kesempurnaan lahiriah. Diskriminasi tidak berhenti hanya disitu saja. Dalam hal pelayanan publik semisal pelayanan kesehatan pun sudah disusupi diskriminasi. Pelayanan kesehatan seolah-olah hanya milik mereka yang ber uang, sementara yang tidak punya uang di anak tirikan. Selanjutnya diskriminasi untuk mendapatkan rasa keadilan dimata hokum, dan masih banyak lagi.
Diskriminasi tentunya bukanlah identitas dari bangsa ini, apalagi produk bangsa Indonesia. Para the Founding Father kita sudah bersepakat bahwa kita satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa. Identitas diri bangsa Indonesia adalah keberagaman; Ragam suku, budaya, agama, warna kulit dll. Itu artinya diskriminasi harus di hapuskan dari bumi pertiwi. Dan ketika diskriminasi dikembang-biakkan di negeri ini, sesungguhnya kita sudah menghianati konstitusi kita dan menghianati para pendiri bangsa ini.
Mengharap LAHIRNYA Sosok Pemimpin yang baru: Tahun 2014 oleh sejumlah pengamat disebut dengan tahun politik. Tahun ini juga menjadi tahun yang sangat penting buat republik ini dalam menentukan seperti apa Indonesia kedepan. Tahun politik dan tahun yang sangat penting buat republik ini karena memang bangsa Indonesia akan masuk dalam pesta demokrasi yakni PEMILU. Pada tanggal 9 April 2014 akan diadakan PILEG baik tingkat pusat (DPR/DPD) maupun tingkat daerah (DPRD). Berdasarkan DCT yang ada di Komisi Pemilihan Umum (KPU), ada 6.607 politisi yang akan memperebutkan 560 kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di 77 daerah pemilihan diseluruh Indonesia. Sebanyak 945 politisi yang akan memperebutkan kursi Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Belum lagi puluhan ribu politisi yang akan bertarung untuk memperebutkan kursi DPRD di tingkat provinsi maupun ditingkat kabupaten/kota yang cukup signifikan penambahannya untuk tahun 2014. Untuk tingkat Provinsi ada 2.137 kursi untuk diperebutkan, atau dengan kata lain ada penambahan sekitar 134 kursi dari jumlah kursi sebelumnya yang hanya 2.008 dalam pemilu 2009. Sementara untuk Tingkat Kabupaten/kota ada 17.560 kursi sementara tahun 2009 16.343 mengalami penambahan sekitar 1.215 kursi untuk tahun 2014. Dari sekian banyaknya para Caleg yang akan bertarung, wajah-wajah lama masih tetap mendominasi PILEG kali ini. Tiga bulan kemudian, tepatnya tanggal 9 Juli 2014 Pemilu Presiden untuk Putaran I akan digelar. Sejumlah nama Capres dan Cawapres pun sudah bermunculan, bahkan tidak sedikit dari antara mereka yang jauh-jauh hari telah mendeklarasikan diri semisal Aburizal Bakrie (Capres Partai Golkar), Prabowo Subianto (Capres partai Gerindra), Wiranto dan Hary Tanoesoedibjo (Capres dan Cawapres Partai Hanura), Mahfud MD dan Rhoma Irama (Bakal Capres PKB), PDI Perjuangan menjagokan Joko Widodo Sebagai Capresnya untuk menduduki RI 1, dan masih banyak lagi. Tentunya, Siapapun yang mencalonkan diri jadi Caleg, Capres dan Cawapres itu sah-sah saja. Namun yang terpenting adalah mampukah kelak mereka membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik? Membawa Indonesia baru? Lahirnya sosok pemimpin yang baru bukan hanya sekedar pergantian antar pemimpin secara periodik, pergantian secara fisik, pergantian dari yang berpengalaman dengan yang kurang berpengalaman atau sebaliknya . Lahirnya sosok pemimpin yang baru adalah pemimpin yang melekat dihati rakyatnya dan rakyatnya melekat dihatinya, pemimpin yang antara perkataan dan perbuatannya sejalan, Pemimpin yang mau turun dari singgasana ketika rakyatnya diperhadapkan kepada penderitaan. Bangsa ini tidak membutuhkan pemimpin yang mau repot dan berlelah ketika masa kampanye tiba alias hanya sekedar mendulang suara dan setelah itu ibarat kacang lupa akan kulitnya. Bangsa tidak tidak membutuhkan sosok pemimpin yang pintar mengumbar janji atau pun yang pintar bersandiwara.
Akhirnya, mengharap Indonesia Baru tentunya harapan kita semua. Indonesia Baru berarti tidak ada lagi praktik korupsi, Indonesia yang bebas diskriminasi/berkeadilan sosial, Indonesia yang aman dan tentram, Indonesia yang bebas dari kemiskinan. Semoga harapan ini dapat terwujud di republik ini. Kalau tidak sekarang kapan lagi, kalau bukan putra-putri bangsa ini siapa lagi yang bisa mewujudkan Indonesia baru. Selamat datang Indonesia Baru.
Mengharap TEROR tidak ada lagi: Salah satu poin dalam Pembukaan UUD 45 alinea 4 dikatakan “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosia. Filosofi yang tersirat dalam kalimat ini bahwa bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa yang cinta akan ketertiban dan perdamaian. Namun sungguh sangat disayangkan, Filosofi Indonesia cinta akan ketertiban dan perdamaian itu sepertinya sudah kian terhapus dari ranah kehidupan bangsa kita. Bangsa yang tadinya dikenal dengan sopan dan santun kini hanya tinggal kenangan belaka. Bukan lagi keramahan yang kita dengar, bukan lagi kesopan santunan yang dipertontonkan melainkan teror yang menghiasi lembar demi lembar tatan kehidupan anak-anak pertiwi. Dipenghujung tahun 2013, tepatnya di malam pergantian tahun baru, kita dikagetkan dengan berita penggerebekan yang dilakukan Detasemen Khusus 88 Antiteror Mabes Polri terhadap terduga teroris di jalan KH Dewantoro Gang H Hasan RT 04/07 Kampung Sawah Ciputat Tangerang Selatan, Banten. Akibat peristiwa ini 6 orang terduga teroris meninggal dunia. Teror demi teror sepertinya memang tak bisa lekang dari bangsa ini. Sepanjang waktu Teror terus menghantui perjalanan anak-anak bangsa. Dan kalau kita amati, teror tidak lagi ditujukan hanya kepada mereka-mereka yang beda keyakinan (agama), kedutaan-kedutaan asing yang ada di republik ini. Namun dalam perkembangannya teror juga sudah ditujukan terhadap aparat keamanan bangsa kita. Sudah tidak sedikit lagi aparat keamanan (Polisi) yang jadi korban, bahkan kehilangan nyawa oleh kebrutalan para pelaku teror. Dan apa jadinya kalau aparat keamanan negeri ini pun sudah tidak aman lagi dalam melaksanakan tugasnya, apalagi rakyat biasa sudah pasti hidup dalam ketakutan. Dan yang lebih memprihatinkan kita semua teror yang dilakukan generasi muda bangsa ini lewat aksi geng motor yang akhir-akhir ini semakin meraja lela dan sudah tidak sedikit lagi korbannya sesama anak-anak bangsa.
Melihat kenyataan ini, semua komponen bangsa yang cinta akan kedamaian yang ada di republik ini tentunya berharap Filosofi Indonesia cinta akan perdamaian menghinggapi setiap individu yang ada di Republik ini. Kembalikan bangsa yang cinta akan perdamaian itu ke anak cucu kita, dan jangan lupa memperkatakan filosofi Indonesia yang sesungguhnya kepada generasi ke generasi siang maupun malam.
Mengharap DISKRIMINASI dihapuskan: Sila kelima dari lima sila Pancasila mengatakan “Keadilan Sosial Bagi seluruh Rakyat Indonesia”. Nilai yang terkandung dalam Sila yang Kelima ini bahwa keadilan harus terwujud dalam kehidupan bersama. Dan keadilan tersebut harus didasari dan dijiwai oleh hakikat keadilan kemanusiaan yakni keadilan dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dengan manusia lainnya, bangsa dan Negara serta hubungan manusia dengan Tuhannya. Sila kelima dari lima sila Pancasila ini sepertinya diabaikan bahkan bisa jadi di anak tirikan. Hal itu diperkuat lagi banyaknya kasus-kasus diskriminasi di bumi Indonesia. Dari catatan Yayasan Denny JA pertanggal 23 Desember 2012 saja, ada 2.398 kasus kekerasan dan diskriminasi yang terjadi di Indonesia selama 14 tahun setelah reformasi. Hal itu disampaikan Direktur Yayasan Denny JA, Novriantoni Kahar, dalam jumpa pers di Kantor Lingkaran Survei Indonesia (LSI), di Jakarta. Dari jumlah itu paling banyak kekerasan terjadi karena berlatar agama/paham agama sebanyak 65 persen. Sisanya, secara berturut-turut adalah kekerasan etnis (20 persen), kekerasan jender (15 persen), dan kekerasan orientasi seksual (5 persen). Diskriminasi yang dipertontonkan di republik ini tentunya bukan hanya itu saja. Dunia pendidikan kita pun sudah lahir yang namanya diskriminasi terutama berkenaan dengan penerimaan siswa baru maupun akses untuk bersekolah. Konstitusi kita menjamin bahwa setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan seperti yang tertuang pada Pasal 31 ayat 1 Perubahan Keempat Undang-undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Penerapan pasal ini ditindak lanjuti dalam Undang-undang No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 5 Undang-undang ini menyatakan bahwa: “Setiap warga negara, laki-laki, dan perempuan berhak mendapatkan pendidikan bermutu”. Penerapan Pasal ini bersifat anti diskriminatif. Hal ini juga diperkut dalam Undang-undang No.20 Tahun 2003 pasala 4, bab III, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menyatakan bahwa: “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia”. Dari pasal ini jelaslah bahwa semua warga Negara (tanpa terkecuali) mendapatkan perlakuan dan kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan tanpa ada persyaratan-persyaratan khusus seperti harus memiliki kesempurnaan lahiriah. Diskriminasi tidak berhenti hanya disitu saja. Dalam hal pelayanan publik semisal pelayanan kesehatan pun sudah disusupi diskriminasi. Pelayanan kesehatan seolah-olah hanya milik mereka yang ber uang, sementara yang tidak punya uang di anak tirikan. Selanjutnya diskriminasi untuk mendapatkan rasa keadilan dimata hokum, dan masih banyak lagi.
Diskriminasi tentunya bukanlah identitas dari bangsa ini, apalagi produk bangsa Indonesia. Para the Founding Father kita sudah bersepakat bahwa kita satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa. Identitas diri bangsa Indonesia adalah keberagaman; Ragam suku, budaya, agama, warna kulit dll. Itu artinya diskriminasi harus di hapuskan dari bumi pertiwi. Dan ketika diskriminasi dikembang-biakkan di negeri ini, sesungguhnya kita sudah menghianati konstitusi kita dan menghianati para pendiri bangsa ini.
Mengharap LAHIRNYA Sosok Pemimpin yang baru: Tahun 2014 oleh sejumlah pengamat disebut dengan tahun politik. Tahun ini juga menjadi tahun yang sangat penting buat republik ini dalam menentukan seperti apa Indonesia kedepan. Tahun politik dan tahun yang sangat penting buat republik ini karena memang bangsa Indonesia akan masuk dalam pesta demokrasi yakni PEMILU. Pada tanggal 9 April 2014 akan diadakan PILEG baik tingkat pusat (DPR/DPD) maupun tingkat daerah (DPRD). Berdasarkan DCT yang ada di Komisi Pemilihan Umum (KPU), ada 6.607 politisi yang akan memperebutkan 560 kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di 77 daerah pemilihan diseluruh Indonesia. Sebanyak 945 politisi yang akan memperebutkan kursi Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Belum lagi puluhan ribu politisi yang akan bertarung untuk memperebutkan kursi DPRD di tingkat provinsi maupun ditingkat kabupaten/kota yang cukup signifikan penambahannya untuk tahun 2014. Untuk tingkat Provinsi ada 2.137 kursi untuk diperebutkan, atau dengan kata lain ada penambahan sekitar 134 kursi dari jumlah kursi sebelumnya yang hanya 2.008 dalam pemilu 2009. Sementara untuk Tingkat Kabupaten/kota ada 17.560 kursi sementara tahun 2009 16.343 mengalami penambahan sekitar 1.215 kursi untuk tahun 2014. Dari sekian banyaknya para Caleg yang akan bertarung, wajah-wajah lama masih tetap mendominasi PILEG kali ini. Tiga bulan kemudian, tepatnya tanggal 9 Juli 2014 Pemilu Presiden untuk Putaran I akan digelar. Sejumlah nama Capres dan Cawapres pun sudah bermunculan, bahkan tidak sedikit dari antara mereka yang jauh-jauh hari telah mendeklarasikan diri semisal Aburizal Bakrie (Capres Partai Golkar), Prabowo Subianto (Capres partai Gerindra), Wiranto dan Hary Tanoesoedibjo (Capres dan Cawapres Partai Hanura), Mahfud MD dan Rhoma Irama (Bakal Capres PKB), PDI Perjuangan menjagokan Joko Widodo Sebagai Capresnya untuk menduduki RI 1, dan masih banyak lagi. Tentunya, Siapapun yang mencalonkan diri jadi Caleg, Capres dan Cawapres itu sah-sah saja. Namun yang terpenting adalah mampukah kelak mereka membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik? Membawa Indonesia baru? Lahirnya sosok pemimpin yang baru bukan hanya sekedar pergantian antar pemimpin secara periodik, pergantian secara fisik, pergantian dari yang berpengalaman dengan yang kurang berpengalaman atau sebaliknya . Lahirnya sosok pemimpin yang baru adalah pemimpin yang melekat dihati rakyatnya dan rakyatnya melekat dihatinya, pemimpin yang antara perkataan dan perbuatannya sejalan, Pemimpin yang mau turun dari singgasana ketika rakyatnya diperhadapkan kepada penderitaan. Bangsa ini tidak membutuhkan pemimpin yang mau repot dan berlelah ketika masa kampanye tiba alias hanya sekedar mendulang suara dan setelah itu ibarat kacang lupa akan kulitnya. Bangsa tidak tidak membutuhkan sosok pemimpin yang pintar mengumbar janji atau pun yang pintar bersandiwara.
Akhirnya, mengharap Indonesia Baru tentunya harapan kita semua. Indonesia Baru berarti tidak ada lagi praktik korupsi, Indonesia yang bebas diskriminasi/berkeadilan sosial, Indonesia yang aman dan tentram, Indonesia yang bebas dari kemiskinan. Semoga harapan ini dapat terwujud di republik ini. Kalau tidak sekarang kapan lagi, kalau bukan putra-putri bangsa ini siapa lagi yang bisa mewujudkan Indonesia baru. Selamat datang Indonesia Baru.