H2C (harap-harap Cemas) itulah kondisi psikologi yang sedang dialami saat ini oleh kedua pendukung, bahkan kedua calon Presiden yang telah bertarung pada tanggal 9 Juli yang lalu, dalam menanti hasil penghitungan suara Pilpres yang akan diumumkan oleh KPU. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara Pemilu yang dipercaya oleh UU akan mengumumkan hasil rekapitulasi suara Pilpres pada tanggal 22 Juli ini. Pengumuman ini tentunya sangat dinanti-nantikankan ratusan juta penduduk negeri ini, sekaligus menjadi ujian bagi KPU sebagai lembaga yang dianggap kredibel, independen, bebas dari interpensi oleh siapapun dalam menetapkan hasil pemenang Pemilu, baik Pilkada, Pileg, maupun Pilpres.
Tanpa dipengaruhi oleh hasil hitung cepat yang dilakukan oleh sejumlah survey yang sudah tersebar luas itu, KPU harus mampu melaksankakan tugasnya secara Profesional, independens dan tidak terpengaruh dengan kekuatan-kekuatan apapun yang mencoba menginterpensinya, sehingga dengan demikian KPU tidak dianggap sebelah mata oleh publik. Memang apa yang selama ini dilakukan oleh KPU dalam menetapkan hasil pemilu, baik Pilkada, Pileg dan Pilpres, boleh dibilang sudah memenuhi harapan publik. Lihatlah hasil pemilu-pemilu sebelumnya, dimana pemenang Pemilu yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum tidak jauh berbeda dengan penetapan pemenang pemilu oleh sejumlah lembaga survey yang dianggap kredibel. Namun perlu juga dicatat , bahwa lemba-lembaga survey yang dianggap kredibel itu, dan lembaga-lembaga survey yang dianggap abal-abal itu merupakan produk manusia, sehingga kesalahan, kekeliruan pun bisa terjadi dalam sejumlah lembaga survey tersebut. Berarti “quick count” yang memenangkan pasangan Prabowo-Hatta bisa juga jungkir balik, dan “quick count” yang memenangkan pasangan Jokowi-JK bisa juga terjun bebas. Itu sebabnya KPU diharapkan lebih teliti, hati-hati dan mempunyai sensor untuk mendeteksi kecurangan sekecil apa pun. Sehingga lembaga ini tidak gegabah dalam menetapkan pemenang Pilpres.
Penantian terhadap hasil Pilpres oleh Komisi Pemilihan Umum pada tanggal 22 Juli mendatang, seyogianya juga menjadi momentum yang sangat tepat bagi kedua Pasangan Capres dan Cawapres serta para pendukungnya guna melakukan kontemplasi, memperkuat iman dan taqwa, mempersiapkan mental dan hati yang dingin untuk menerima kenyataan pahit bagi kubu yang kalah dalam pertarungan itu. Bukannya apa, di republik ini budaya siap kalah dan siap menang masih jarang kita temukan ada pada diri tokoh/politisi kita. Sepertinya para tokoh/politisi kita tidak dipersiapkan dan mempersiapkan diri untuk menerima kekalahan dan mengakui kemenangan orang lain. Dari pengalaman perpolitikan kita selama ini, tidak sedikit peristiwa-peristiwa yang muncul kepermukaan yang berujung pada tindakan anarkis hanya oleh karena kalah dalam pertarungan politik; semisal dalam Pilkada, Pileg dan lain sebagainya. Memang Kalimat siap kalah dan siap menang sering di ucapkan/diperdengarkan, namun sepertinya kalimat itu hanya sekedar lip service semata guna mencuri perhatian masyarakat luas. Kalimat itu tidaklah keluar dari lubuk hati yang paling dalam. Sehingga antara kata dan perbuatan tidak berjalan beriringan. Padahal, gambaran manusia sesungguhnya terletak pada satunya kata dan perbuatan. Dengan kata lain apa yang diucapkan seseorang itulah yang harus dibuatnya dalam kehidupan nyata. Apalagi dalam konteks ini Si pengucap “siap menang siap kalah” merupakan calon pemimpin bangsa yang kelak akan memimpin ratusan juta penduduk negeri ini. Apa jadinya bangsa ini kalau pemimpinnya saja tidak bisa dipegang perkataannya. Seorang negarawan, sebagai manusia hebat tidaklah diukur dari sebarapa dasyatnya kata-kata yang dia ucapkan tetapi bagaimana ia mampu membuktikan, menginplementasikan kata-katanya itu dalam kehidupan nyata.
Harapan publik terhadap kedua kandidat Presiden pilihan rakyat, kedua Capres mampu memberikan rasa sejuk di tengah-tengah panasnya persaingan politik yang sedang terjadi di tengah bangsa ini. Kedua Capres mampu mencairkan suasa yang sempat menegang itu diantara masing-masing pendukung. Apalagi pesta demokrasi yang sudah kita rayakan itu sudah dimulai dengan kedamaian; kampanye yang damai, debat Capres dan Cawapres yang damai, antusias yang tinggi dari masyarakat untuk datang ke TPS guna memberikan hak suaranya juga penuh dengan kedamaian. Tinggal selangkah lagi maka bangsa ini akan melahirkan kedamaian yang sempurna. Jangan sampai seperti pepatah katakana “Karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Tentunya hal itu bisa terwujud manakala kedua Capres dan Cawapres, para pendukung, simpatisan, para relawan mampu mengimplementasikan kalimat “siap kalah” “siap menang” dalam realitas sesungguhnya. Membuang kepentingan pribadi/golongan, membuang ambisius pribadi, demi kepentingan yang lebih luas yakni bangsa dan Negara yang hidup dalam kedamaian. Apalah arti sebuah kemenangan kalau anak-anak pertiwi tercerai berai. Apalah arti sebuah kemenangan kalau hal itu didapat dengan cara-cara curang.
Menanti detik-detik hasil Pilpres oleh KPU menjadi sangat berarti kepada kedua Capres dan Cawapres untuk membuktikan siapakah diantara keduanya yang menjadi kesatria yang sesungguhnya, menjadi negarawan yang sebenarnya manakala KPU mengumumkan pemanang hasil Pilpres pada tanggal 22 Juli ini, tentunya menarik untuk dinantikan..