MEMBUDAYAKAN BUDAYA MALU
“Al haya’u minal Iman” (Malu adalah sebagian dari Iman). Tentunya kalimat ini bukan sesuatu yang asing lagi bagi pembaca sekalian, apalagi kita sebagai bangsa yang dikenal dengan khusyuk dengan keberagamaannya. Kalimat “Malu adalah sebahagian dari Iman” ini kembali diungkapkan oleh Marzuki Ali Ketua DPR RI pada acara Talk Show-Apa Kabar Indonesia Pagi yang ditayangkan oleh Tvone secara live. Acara yang dipandu oleh Fadli Rizki dan Indri Rahmawati. itu menghadirkan Marzuki Ali sebagai salah satu narasumber. Ungkapan “malu adalah sebahagian dari iman”, yang disampaikan pada acara tersebut sesungguhnya sebuah sindiran terhadap prilaku anggota DPR RI yang membolos di saat rapat paripurna dalam rangka memperingati HUT ke 68 DPR RI yang jatuh pada Kamis tanggal 29 Agustus 2013 yang lalu. Keterlaluan memang, dari 560 orang anggota DPR RI, lebih dari setengah anggotanya tidak mengikuti rapat Paripurna alias membolos. Padahal dalam rapat paripurna tersebut DPR RI mengambil tema “Menjawab Tantangan, Meningkatkan Kepercayaan.” Sepertinya tema ini hanya sekedar life service saja, hanya sekedar retorika belaka. Karena kenyataannya Anggota DPR RI tidak mampu menjawab tantangan, meningkatkan kepercayaan, ditengah kian merosotnya kepercayaan publik terhadap para politisi senayan itu. Bahkan untuk meminimalisir anggota dewan yang sering mangkir itu , sesungguhnya BK atau Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat pun telah merilis data absensi anggota dewan yang sering membolos, dengan harapan data absensi yang dipublikasikan ini menjadi shocterapi bagi anggota dewan yang gemar membolos itu sehingga kepercayaan masyarakat meningkat. Namun sepertinya itu pun tidak membuat efek jera. Melihat realitas ini, timbul sebuah pertanyaan dalam pikiran, masih adakah perasaan malu di hati para anggota dewan yang sering membolos itu?
Malu, sepertinya sudah menjadi barang yang sangat langka di republik ini. Apalagi beberapa tahun terakhir ini, Indonesia sedang diperhadapkan terhadap sebuah krisis yang cukup memprihatinkan dan perlu perhatian serius dari semua kalangan. Ya! itulah krisis budaya malu. Malu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan “Merasa sangat tidak enak hati (hina, rendah, dsb) karena berbuat sesuatu yang kurang baik (kurang benar, berbeda dengan kebiasaan, mempunyai cacat atau kekurangan, dsb)”. Namun secara istilah pengertian “malu” ialah kemampuan menolak melakukan sesuatu (tindakan) karena dianggap tidak pantas, berdosa, dan membawa aib bagi dirinya sendiri, keluarga, maupun bagi masyarakatnya. Yang lain berkata bahwa Malu adalah satu kata yang mencakup perbuatan menjauhi segala apa yang dibenci. Sementara itu hakikat malu itu sendiri adalah sikap yang mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan-perbuatannya yang buruk. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa malu adalah akhlak yang memotivasi setiap individu untuk menanggalkan perbuatannya yang tercela, sehingga mampu menghalagi seseorang untuk melakukan tindakan tidak terpuji ataupun dosa.
Pada hakikatnya Allah menciptakan manusia dengan menanamkan rasa malu didalam dirinya. Beda dengan binatang atau pun cipataan lainnya. Itu sebabnya manusia yang normal, ketika ia melakukan sesuatu yang tidak lajim dalam lingkungannya ia akan merasa malu. Tetapi binatang tidak demikian karena binatang tidak punya rasa malu. Namun terkadang rasa malu itu sirna ketika manusia tergoda oleh gemerlapnya kehidupan dunia. Bahkan terkadang, akibat lenyapnya rasa malu pada dirinya, sikap manusia jauh lebih rendah dari pada binatang. Rasa malu yang ditaruh Allah dalam diri manusia mempunyai tiga sasaran: malu kepada Allah, malu terhadap sesama manusia dan malu terhadap diri sendiri. Malu kepada Allah membuat seseorang menggunakan hidupnya untuk memuliakan Allah, melakukan perintahNya dan menjauhi laranganNya. Karena ia tahu bahwa Allah adalah Maha Tahu. Itu sebabnya dalam kitab suci dikatakan “Kemanakah aku dapat pergi menjauhi RohMu, kemana aku dapat lari dari hadapanMu? Jika aku mendaki ke langit, Engkau disana; di dunia orang mati, di situpun Engkau., tidak ada yang tersembunyi bagi Allah. Itu artinya apa dan bagaimanapun tindak tanduk seseorang ada dalam sepengetahuanNya. Sikap malu seperti inilah yang merupakan kunci sukses kita menjadi orang yang bertakwa. Dengan bekal malu ini, seseorang akan berusaha untuk dapat menjadi orang bertakwa yang utuh. Sementara malu terhadap sesama manusia adalah bagaimana kita menjaga kehormatan orang lain karena dengan menghormati orang lain, maka dengan sendirinya kehormatan kita pun akan terjaga. Malu terhadap diri sendiri menjadikan seseorang tidak mengingkari janji-janjinya, sumpahnya kepada dirinya sendiri, ucapannya kepada orang lain dapat dia pertanggungjawabkan dengan demikian ia tidak mempermalukan dirinya sendiri. Malu terhadap diri berarti dia akan berusaha mengendalikan nafsunya dari keinginan-keinginan yang tidak baik dan tidak benar.
Krisis Perasaan Malu. Indikator kian terkikisnya budaya malu itu semakin santer terlihat memang di republik ini. Orang tidak malu lagi melakukan tindakan-tindakan tidak terpuji. Melakukan sesuatu yang tidak benar dianggap menjadi hal yang lumrah. Roh budaya malu kian terpinggirkan dari ranah kehidupan keseharian masyarakat kita. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) menilai rasa malu di tengah masyarakat semakin merosot. Hal itu, menurut Presiden, terlihat dari masih terjadinya korupsi, kongkalikong, kekerasan, fitnah, caci maki dan berbagai keburukan lainnya, ujar SBY saat memberikan sambutan dalam perayaan Tahun Baru Imlek Nasional 2564 di Jakarta, Selasa (18/2/13). Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudoyono di atas bukannya tanpa alasan, mari sejenak kita melihat prilaku para koruptor di republik ini, semakin gencar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memburu para koruptor, semakin berani dan tidak malu pula orang melakukan korupsi, aneh memang. Lihatlah para penegak hukum kita, mereka pun sudah banyak yang terjerembab ke lubang suap menyuap dan tidak sedikit yang masuk jeruji besi. Dan yang membuat kita lebih terperanga lagi adalah ketika tertangkap tangan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada saat berlangsungnya transaksi suap menyuap di rumah dinas Ketua MK tersebut pada 3 Oktober 2013 terkait sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Miris memang Padahal kita semua tahu bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai benteng terakhir dalam menegakkan kebenaran di republik ini. Namun itu pun sudah disusupi oleh mereka-mereka yang tidak mempunyai rasa malu. Sehingga benarlah apa yang dikatakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang pernah merilis bahwa Kepolisian, DPR, dan Pengadilan menjadi lembaga terkorup di Indonesia. Hal itu diungkapkan oleh komisioner KPK, Adnan Pandu Praja, saat memberikan ceramah Political Corruption di depan 150 pegawai dan pejabat KPU di Gedung KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (16/9/2013). Dan yang tidak kalah mirisnya adalah kian kritisnya perasaan malu dikalangan generasi muda bangsa kita. Lihatlah prilaku-prilaku yang dipertontonkan para nara didik kita, mulai dari jenjang SMP, SLTA sampai keperguruan tinggi (Mahasiswa) tidak sedikit dari antara mereka yang terjerembab kedalam budaya kekerasan (Tawuran), mencontek. Bukan hanya itu, baru-baru ini santer kita dengar berita yang sangat menghebohkan sekaligus mencoreng moreng dunia pendidikan kita, dimana sepasang pelajar Sekolah Menengah Pertama Negeri di Jakarta Pusat melakukan hubungan seks layaknya suami/I dan parahnya lagi disaksikan oleh rekan-rekannya sendiri secara langsung dan sekaligus didokumentasikan lewat video yang ada di HP mereka.
Pentingnya Membudayakan Budaya Malu. Suka atau tidak suka membudayakan budaya malu sudah menjadi hal yang sangat urgen dilakukan oleh semua elemen masyarakat yang ada di republik ini. Sikap malu kian terasa semakin penting karena malu merupakan refleksi iman seseorang. Malu juga berfungsi mengontrol dan mengendalikan seseorang dari sikap dan perbuatan tercela yang sesungguhnya dilarang oleh tiap-tiap agama. Iman dan malu memiliki keterkaitan yang sangat kuat, sehingga semakin kuat iman seseorang maka akan semakin kuatlah rasa malunya. Orang yang tidak mempunyai sifat malu akan bebas melakukan apa saja yang diinginkan oleh hawa nafsunya. Sehat atau tidaknya hati seseorang akan nampak dari kekuatan rasa malu yang ada di dalam dirinya. Minimnya rasa malu menjadi indikator dari matinya hati dan ruh seseorang. Lebih jauh aktor senior Sophan Sophian Alm mengatakan “seseorang yang bersemayam rasa malu pada dirinya, dia tidak akan pernah mau melakukan suatu perbuatan atau tindakan yang memalukan”. Sehingga dengan demikian, dengan membudayakan budaya malu, niscaya kita tidak akan lagi menyaksikan tindakan-tindakan yang tidak terpuji, amoral, kekerasan. Namun sebaliknya anak-anak pertiwi, para elit bangsa, akan berkompetisi untuk bersikap sosial yang baik lalu mengubur dalam-dalam tindakan-tindakan amoralnya. Akhirnya mari kita mulai membudayakan
“Al haya’u minal Iman” (Malu adalah sebagian dari Iman). Tentunya kalimat ini bukan sesuatu yang asing lagi bagi pembaca sekalian, apalagi kita sebagai bangsa yang dikenal dengan khusyuk dengan keberagamaannya. Kalimat “Malu adalah sebahagian dari Iman” ini kembali diungkapkan oleh Marzuki Ali Ketua DPR RI pada acara Talk Show-Apa Kabar Indonesia Pagi yang ditayangkan oleh Tvone secara live. Acara yang dipandu oleh Fadli Rizki dan Indri Rahmawati. itu menghadirkan Marzuki Ali sebagai salah satu narasumber. Ungkapan “malu adalah sebahagian dari iman”, yang disampaikan pada acara tersebut sesungguhnya sebuah sindiran terhadap prilaku anggota DPR RI yang membolos di saat rapat paripurna dalam rangka memperingati HUT ke 68 DPR RI yang jatuh pada Kamis tanggal 29 Agustus 2013 yang lalu. Keterlaluan memang, dari 560 orang anggota DPR RI, lebih dari setengah anggotanya tidak mengikuti rapat Paripurna alias membolos. Padahal dalam rapat paripurna tersebut DPR RI mengambil tema “Menjawab Tantangan, Meningkatkan Kepercayaan.” Sepertinya tema ini hanya sekedar life service saja, hanya sekedar retorika belaka. Karena kenyataannya Anggota DPR RI tidak mampu menjawab tantangan, meningkatkan kepercayaan, ditengah kian merosotnya kepercayaan publik terhadap para politisi senayan itu. Bahkan untuk meminimalisir anggota dewan yang sering mangkir itu , sesungguhnya BK atau Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat pun telah merilis data absensi anggota dewan yang sering membolos, dengan harapan data absensi yang dipublikasikan ini menjadi shocterapi bagi anggota dewan yang gemar membolos itu sehingga kepercayaan masyarakat meningkat. Namun sepertinya itu pun tidak membuat efek jera. Melihat realitas ini, timbul sebuah pertanyaan dalam pikiran, masih adakah perasaan malu di hati para anggota dewan yang sering membolos itu?
Malu, sepertinya sudah menjadi barang yang sangat langka di republik ini. Apalagi beberapa tahun terakhir ini, Indonesia sedang diperhadapkan terhadap sebuah krisis yang cukup memprihatinkan dan perlu perhatian serius dari semua kalangan. Ya! itulah krisis budaya malu. Malu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan “Merasa sangat tidak enak hati (hina, rendah, dsb) karena berbuat sesuatu yang kurang baik (kurang benar, berbeda dengan kebiasaan, mempunyai cacat atau kekurangan, dsb)”. Namun secara istilah pengertian “malu” ialah kemampuan menolak melakukan sesuatu (tindakan) karena dianggap tidak pantas, berdosa, dan membawa aib bagi dirinya sendiri, keluarga, maupun bagi masyarakatnya. Yang lain berkata bahwa Malu adalah satu kata yang mencakup perbuatan menjauhi segala apa yang dibenci. Sementara itu hakikat malu itu sendiri adalah sikap yang mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan-perbuatannya yang buruk. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa malu adalah akhlak yang memotivasi setiap individu untuk menanggalkan perbuatannya yang tercela, sehingga mampu menghalagi seseorang untuk melakukan tindakan tidak terpuji ataupun dosa.
Pada hakikatnya Allah menciptakan manusia dengan menanamkan rasa malu didalam dirinya. Beda dengan binatang atau pun cipataan lainnya. Itu sebabnya manusia yang normal, ketika ia melakukan sesuatu yang tidak lajim dalam lingkungannya ia akan merasa malu. Tetapi binatang tidak demikian karena binatang tidak punya rasa malu. Namun terkadang rasa malu itu sirna ketika manusia tergoda oleh gemerlapnya kehidupan dunia. Bahkan terkadang, akibat lenyapnya rasa malu pada dirinya, sikap manusia jauh lebih rendah dari pada binatang. Rasa malu yang ditaruh Allah dalam diri manusia mempunyai tiga sasaran: malu kepada Allah, malu terhadap sesama manusia dan malu terhadap diri sendiri. Malu kepada Allah membuat seseorang menggunakan hidupnya untuk memuliakan Allah, melakukan perintahNya dan menjauhi laranganNya. Karena ia tahu bahwa Allah adalah Maha Tahu. Itu sebabnya dalam kitab suci dikatakan “Kemanakah aku dapat pergi menjauhi RohMu, kemana aku dapat lari dari hadapanMu? Jika aku mendaki ke langit, Engkau disana; di dunia orang mati, di situpun Engkau., tidak ada yang tersembunyi bagi Allah. Itu artinya apa dan bagaimanapun tindak tanduk seseorang ada dalam sepengetahuanNya. Sikap malu seperti inilah yang merupakan kunci sukses kita menjadi orang yang bertakwa. Dengan bekal malu ini, seseorang akan berusaha untuk dapat menjadi orang bertakwa yang utuh. Sementara malu terhadap sesama manusia adalah bagaimana kita menjaga kehormatan orang lain karena dengan menghormati orang lain, maka dengan sendirinya kehormatan kita pun akan terjaga. Malu terhadap diri sendiri menjadikan seseorang tidak mengingkari janji-janjinya, sumpahnya kepada dirinya sendiri, ucapannya kepada orang lain dapat dia pertanggungjawabkan dengan demikian ia tidak mempermalukan dirinya sendiri. Malu terhadap diri berarti dia akan berusaha mengendalikan nafsunya dari keinginan-keinginan yang tidak baik dan tidak benar.
Krisis Perasaan Malu. Indikator kian terkikisnya budaya malu itu semakin santer terlihat memang di republik ini. Orang tidak malu lagi melakukan tindakan-tindakan tidak terpuji. Melakukan sesuatu yang tidak benar dianggap menjadi hal yang lumrah. Roh budaya malu kian terpinggirkan dari ranah kehidupan keseharian masyarakat kita. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) menilai rasa malu di tengah masyarakat semakin merosot. Hal itu, menurut Presiden, terlihat dari masih terjadinya korupsi, kongkalikong, kekerasan, fitnah, caci maki dan berbagai keburukan lainnya, ujar SBY saat memberikan sambutan dalam perayaan Tahun Baru Imlek Nasional 2564 di Jakarta, Selasa (18/2/13). Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudoyono di atas bukannya tanpa alasan, mari sejenak kita melihat prilaku para koruptor di republik ini, semakin gencar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memburu para koruptor, semakin berani dan tidak malu pula orang melakukan korupsi, aneh memang. Lihatlah para penegak hukum kita, mereka pun sudah banyak yang terjerembab ke lubang suap menyuap dan tidak sedikit yang masuk jeruji besi. Dan yang membuat kita lebih terperanga lagi adalah ketika tertangkap tangan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada saat berlangsungnya transaksi suap menyuap di rumah dinas Ketua MK tersebut pada 3 Oktober 2013 terkait sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Miris memang Padahal kita semua tahu bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai benteng terakhir dalam menegakkan kebenaran di republik ini. Namun itu pun sudah disusupi oleh mereka-mereka yang tidak mempunyai rasa malu. Sehingga benarlah apa yang dikatakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang pernah merilis bahwa Kepolisian, DPR, dan Pengadilan menjadi lembaga terkorup di Indonesia. Hal itu diungkapkan oleh komisioner KPK, Adnan Pandu Praja, saat memberikan ceramah Political Corruption di depan 150 pegawai dan pejabat KPU di Gedung KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (16/9/2013). Dan yang tidak kalah mirisnya adalah kian kritisnya perasaan malu dikalangan generasi muda bangsa kita. Lihatlah prilaku-prilaku yang dipertontonkan para nara didik kita, mulai dari jenjang SMP, SLTA sampai keperguruan tinggi (Mahasiswa) tidak sedikit dari antara mereka yang terjerembab kedalam budaya kekerasan (Tawuran), mencontek. Bukan hanya itu, baru-baru ini santer kita dengar berita yang sangat menghebohkan sekaligus mencoreng moreng dunia pendidikan kita, dimana sepasang pelajar Sekolah Menengah Pertama Negeri di Jakarta Pusat melakukan hubungan seks layaknya suami/I dan parahnya lagi disaksikan oleh rekan-rekannya sendiri secara langsung dan sekaligus didokumentasikan lewat video yang ada di HP mereka.
Pentingnya Membudayakan Budaya Malu. Suka atau tidak suka membudayakan budaya malu sudah menjadi hal yang sangat urgen dilakukan oleh semua elemen masyarakat yang ada di republik ini. Sikap malu kian terasa semakin penting karena malu merupakan refleksi iman seseorang. Malu juga berfungsi mengontrol dan mengendalikan seseorang dari sikap dan perbuatan tercela yang sesungguhnya dilarang oleh tiap-tiap agama. Iman dan malu memiliki keterkaitan yang sangat kuat, sehingga semakin kuat iman seseorang maka akan semakin kuatlah rasa malunya. Orang yang tidak mempunyai sifat malu akan bebas melakukan apa saja yang diinginkan oleh hawa nafsunya. Sehat atau tidaknya hati seseorang akan nampak dari kekuatan rasa malu yang ada di dalam dirinya. Minimnya rasa malu menjadi indikator dari matinya hati dan ruh seseorang. Lebih jauh aktor senior Sophan Sophian Alm mengatakan “seseorang yang bersemayam rasa malu pada dirinya, dia tidak akan pernah mau melakukan suatu perbuatan atau tindakan yang memalukan”. Sehingga dengan demikian, dengan membudayakan budaya malu, niscaya kita tidak akan lagi menyaksikan tindakan-tindakan yang tidak terpuji, amoral, kekerasan. Namun sebaliknya anak-anak pertiwi, para elit bangsa, akan berkompetisi untuk bersikap sosial yang baik lalu mengubur dalam-dalam tindakan-tindakan amoralnya. Akhirnya mari kita mulai membudayakan